BeritaTerlengkap - Dua hari menjelang minggu pertama usai pada bulan Desember 2008 yang lalu, ribuan masyarakat membanjir di tengah Kota Singkawang. Mereka memenuhi setiap sudut ruang kosong. Saling berdesak untuk tampil paling depan. Satu keinginan, hanya untuk menyaksikan perobohan patung naga setengah jadi yang dibangun di persimpangan Jalan Kempol Mahmud – Jalan Niaga.
Lebih dari dua jam aktifitas ekonomi masyarakat di sekitar lokasi patung naga terhenti. Pemilik toko, lebih memilih menutup tempatnya berjualan. Hari itu, counter handphone, warung kopi, hotel, toko elektronik dan toko bangunan serta toko pakaian, juga memilih untuk tidak berdagang.
Selesai salat jumat, puluhan massa dari Front Pembela Islam (FPI) di Singkawang bersama FPM dan Aliansi LSM bergerak mendekati bangunan patung yang baru digarap kurang lebih sepuluh hari itu. Massa FPI itu mendekati dengan berpawai menggunakan puluhan kendaraan roda dua, diiringi satu unit mobil lengkap dengan alat pengeras suara.
FPI dan aliansi LSM menilai pembangunan patung naga itu telah mengusik kerukunan hidup umat beragama di Kota Singkawang. Untuk itu, dalam orasinya, Ketua DPW FPI Kota Singkawang Yudha R Hand menuntut dengan tegas pembangunan patung naga tersebut dihentikan.
Namun disayangkan, keinginan FPI pada hari itu tidak dikabulkan pihak kepolisian. Kepolisian meminta agar massa FPI melakukan audiensi kepada Pemerintah Kota Singkawang. Massa FPI menyetujui,kemudian bubar dengan tertib dan tenang. Ribuan massa yang datang untuk menyaksikan beransur-ansur berkurang. Kondisi Kota Singkawang kembali tenang.
Pertemuan dengan pemerintahan Kota Singkawang direncanakan hingga, hari Jumat yang lau, belum juga terlaksana. Kalaupun pertemuan dilakukan, FPI tetap menuntut pembangunan patung naga diberhentikan dan dibongkar.
“Kami tetap pada sikap kami yang menginginkan pembangunan patung naga diberhentikan dan dibongkar,” kata Yudha saat dikonfirmasi.
Yudha mengatakan, penolakan FPI terhadap pembangunan patung naga sangat beralasan. Naga merupakan hewan sacral dan identik dengan salah satu etnis. Hingga patung naga tidak dapat dibangun di lokasi umum. Kalaupun ingin membangunan patung naga, sebaiknya dilakukan di lokasi ibadah, atau di lokasi yang bukan milik bersama.
“Singkawang milik kita bersama-sama, bukan milik salah satu etnis. Oleh kerena itu, pembangunan patung naga di lokasi umum harus dihentikan,” terang Yudha.
Yuda mengatakan, pembangunan patung naga itu memunculkan system perkotakan etnis di Singkawang. Sitem itu ditakutkan akan berdampak pada Negara Kesatuan Republik Indonesia. NKRI akan goyang.
“Karena itu, kami tetap menuntut agar patung naga yang dibangun dirobohkan,” kata Yudha mempertegas.
Keinginan FPI, FPM dan aliansi LSM bertolak belakang dengan, Kenny Kumala. Tokoh etnis Tionghoa Kota Singkawang ini berpendapat pembangunan patung naga tentu akan menambah khasanah budaya yang kebhinnekaan di Kota Singkawang. Kata Kenny, Patung Naga yang didirikan di salah satu persimpangan itu bukan sebagai symbol agama. Akan tetapi sebagai tugu pemanis Kota Singkawang sebagai kota pariwisata.
Dengan adanya tugu itu, keunikan Singkawang akan bertambah, ujar Kenny.
Secara terbuka, Anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat ini berpandangan semestinya FPI dan beberapa elemen yang terlibat tidak perlu bersikap dan bertindak untuk merobohkan patung naga itu. Karena kegiatan itu tidak didukung oleh ribuan orang.
Menurut pengamatan Kenny, apa yang dilakukan FPI dengan tuntutannya sangat tidak baik untuk kerukunan hidup yang selama ini telah berlangsung di Kota Singkawang. FPI merusak tatanan hidup yang sudah matang.
“FPI membawa ketidakharmonisan yang semestinya harus dijaga bersama. Untuk itu, sebaiknya FPI tidak boleh ada di Kota Singkawang,” ujar Kenny.
Kenny kembali menegaskan, tidak ada perlakuan diskriminasi dalam agama di Kota Singkawang. Semua agama di jamin untuk berkembang. Semua penganut mendapatkan kesempatan untuk menjalankan perintah agama yang diyakininya. Dan itu jelas telah termuat dalam salah satu sila pancasila, serta dalam satu pasal di UUD 1945.
“Jadi kita jangan berpikiran di Kota Singkawang telah terjadi diskriminasi dalam agama,” kata Kenny.
Simon Takdir, Kepala Adat Dayak Benua Garantukng Sakawokng Kecamatan Singkawang Timur dan Selatan, saat ditemui di kediamannya menegaskan, pembangunan patung naga di salah satu persimpangan jalan di tengah Kota Singkawang tidak perlu diperbesar-besarkan.
Naga, atau dalam bahasa Dayak yang di sebut Nabo merupakan nama hewan yang terdapat dalam cerita, mitos dari semua etnis dan bangsa di dunia. Kaberdaan naga di kosmos juga bermacam ragam. Kemudian naga bukanlah binatang yang sakral, namun melainkan bersifat universal.
“Karena naga itu universal, maka naga itu bukan saja milik satu etnis atau bangsa tertentu,” kata Simon memperjelas.
Kata Simon, dalam cerita suku Dayak Nek Jahi dalam menyelesaikan misinya di pulau jawa dibantu putri naga. Secara antropologius, situasi ini merupakan simbol dimana salah satu unsur alam, yakni bintang sangat dekat dan bersahabat dengan manusia. Tidak heran bila lukisan dan ukiran binatang itu mengihiasi rumah-rumah, pakaian, aksesoris suku Dayak. “Binatang ini menjadi ornament dalam kesenian suku Dayak. Demikian juga dalam kehidupan etnis dan bangsa lain,” kata Simon.
Menurut Ahli Antropologi ini, sungguh suatu kekeliruan jika ada pendapat yang mengatakan ornamen naga itu milik sebuah etnis tertentu, seperti yang terjadi dalam polemik pembangunan tugu dengan aksesoris naga di Kota Singkawang.
“Suku Tionghoa Singkawang, tidak pernah mengklaim bahwa naga adalah ciri budaya mereka. Klaim yang keliru itu hanya datang dari orang yang tidak mengerti akan keberadaan mitos naga tersebut,” terang Simon. Simon menilai, pembangunan naga pada persimpangan itu hanya sebagai ornament, dengan maksud untuk memperindah kota Singkawang. Bangunan itu merupakan sebuah aksesoris untuk menambah keunikan di Kota Singkawang, sehingga memiliki daya tarik tersendiri.
“Sebagai kota nasional, pembangunan tugu berornamen naga itu tidak perlu dipermasalahkan, baik dari segi lokasi maupun seni dan religi. Walaupun sekiranya ornamen naga itu hanya milik etnis tertentu saja, keberadaannya harus kita terima karena justru memperkaya budaya kita serta menujukkan kehidupan multikultural Kota Singkawang,” jelas Simon seraya menganjurkan agar masyarakat Kota Singkawang berterimakasih dan mendukung donatur kelahiran Kota Singkawang, yang masih cinta dan memperhatikan kotanya.
Karena ornamen naga itu tidak perlu dibesar-besarkan, Simon megajak semua pihak untuk berfikir matang dan dewasa agar pembangunan tugu denga ornamen naga itu tetap dilanjutkan dan didukung bersama. Tujuannya untuk kemajuan dan keindahan Kota Singkawang itu sendiri. Kalaupun ada permasalahan, sebaiknya dipilih penyelesaian di atas menja bersama pemerintah melalui dialog atau seminar. “Sampaikan dengan kata-kata yang santun dan beradat, bukan melaluai jalan kekerasan atau konflik yang disertai dengan kata-kata yang tidak baik,” harap Simon.
Sementara itu salah satu warga Singkawang, Sukarmi memberikan solusi. Katanya, untuk mencapai kesepakatan, DPRD dan pemkot harus segera membuat perda tentang pengelolaan fasilitas umum dan aset Kota Singkawang. Perda ini nantinya akan mengatur pengelolaan fasum dan aset daerah, seandainya jika tidak ada yang mengaturnya.
“Bila tidak ada Perda, pertentangan selalu saja terjadi. Bahkan, isu SARA dibawa-bawa dan bisa-bisa merusak hubungan dan kerukunan antaretnis yang sudah terbina sejak lama, dan kita akan rugi hanya persoalan sepele,” kata Sukarmi.
Kata mantan Anggota DPRD Sambas ini, pemecahan masalah akan lebih baik bila dilaksnakan dalam satu meja, masing-masing pihak menahan diri. “Mari kita sehati, berpikir, duduk bersama mencari solusi yang terbaik membangun Singkawang bersama pemerintah menuju kota wisata dengan satu persepsi dan satu tujuan,” katanya.
*Hasan Karman: Saya Pilih Naga
Lampu hias dengan tugu patung naga yang dibangun di persimpangan Jalan Kempol Mahmud-Jalan Niaga merupakan pilihan Walikota Singkawang, Hasan Karman. Hasan Karman memilihnya dari tiga model yang diajukan dinas terkait. “Saya pilih naga setelah berkoordinasi dengan dinas PU dan Tata Kota,” demikian dikatakan Hasan Karman saat ditemui di rumah dinasnya.
Hasan Karman mencerita secara kronologis asal mula pembangunan patung naga tersebut. Pembangunan patung naga itu bermula saat kampanye Pilkada Walikota Singkawang beberapa waktu yang lalu. Pada saat kampanye, tugu yang saat ini dibangunan patung naga rusak lantaran ditabrak. Hasan Karman mendapatkan komplein masyarakat. Kecelakaanpun kerap kali terjadi.
Kemudian karena banyaknya tuntutan masyarakat, beberapa waktu yang lalu, salah satu pengusaha asal kota Singkawang bersedia untuk melakukan pembangunan tugu yang baru.
“Karena keinginan pengusaha itu, saaya minta dinas PU dan Tatakota untuk merancang tugu yang cocok. Dari tiga rancangan yang diajukan, saya pilih naga,” terang Hasan, seraya mengatakan tugu dengan patung naga itu sejalan dengan visi misi Kota Singkawang sebagai Kota Pariwisata.
Hasan Karman menegaskan, naga bukan hewan yang sacral, bukan hewan untuk disembah. Naga hewan universal yang ada diberbagai etnis di dunia. Sebagai contoh, etnis Tionghoa miliki naga, Dayak memiliki naga, Jawa memiliki naga, Negara eropa juga memiliki naga.
Selain itu, dibeberapa tempat pariwisata, patung naga selalu saja menjadi penghias. Di pantai kijing ada patung naga, di Sinka ada patung naga, di Bougenvil ada patung naga, di keraton Jogja ada patung naga. Jadi naga hewan universal.
“Naga tidak hanya milik etnis Tionghoa, akan tetapi milik seluruh etnis,” jelas Hasan Karman.
Menurut Hasan Karman, pembangunan naga sebagai tugu itu sebagai upaya untuk mendukung dunia pariwisata di Kota Singkawang. Patung naga itu diharapkan dapat menarik para wisatawan untuk berkunjung ke Kota Singkawang.
Karena naga bukan hewan sakaral, karena hewan itu milik semua etnis, dan tidak memunculkan pengotakan pengotakan, maka kata Hasan pembangunan akan tetap dilakukan.
Lebih jauh, Hasan mengatakan, untuk membangunan pariwisata Kota Singkawang, pemerintah tidak hanya membangun patung naga. Akan tetapi juga berencana untuk membangu satu tugu yang melambangkan keberagaman suku di Kota Singkawang. Hasan juga berencakan akan membanganun pintu gerbang di tiga pintu masuk Kota Singkawang dengan corak tiga etnis terbesar di Kota Singkawang, Tionghoa, Dayak, dan Melayu.
Related Posts: